Foto// Armi Nuryadi direktur Walhi NTB, didampingi Fery Widodo dari Eksekutif Nasional Walhi saat diwawancarai media |
LOMBOK UTARA, PenaNTB.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB), bersama perwakilan warga dan organisasi lokal Meno Lestari, mendatangi Kantor DPRD Lombok Utara pada Senin (11/11/2024) untuk menggelar audiensi.
Kedatangan mereka bertujuan mengkritisi krisis air yang semakin parah di Dusun Gili Meno dan mengungkap dugaan kerusakan lingkungan di Dusun Gili Trawangan akibat kerja sama pemerintah daerah dengan PT Tiara Cipta Nirwana (TCN) dalam skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Amri Nuryadi, Direktur Walhi NTB, menyampaikan kekhawatirannya bahwa ada konspirasi di balik perjanjian KPBU tersebut, yang mengakibatkan lambannya penanganan masalah lingkungan di Gili Trawangan.
Amri menilai Pemda Lombok Utara tidak mengambil tindakan nyata untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan yang timbul, dan hal ini diduga berkaitan dengan hubungan kerja sama yang kurang transparan dengan PT TCN.
“Kami menduga ada hal lain di balik perjanjian ini yang membuat pemda enggan bertindak konkret. Persoalan ini harus segera ditinjau ulang karena kami menemukan banyak hal yang tidak sesuai aturan,” ujar Amri.
Menurut Amri, salah satu kejanggalan terletak pada perjanjian pengadaan air yang dilakukan di wilayah konservasi dengan sistem Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) yang seharusnya ramah lingkungan. Namun, hingga saat ini, sistem tersebut malah menimbulkan dampak yang tidak sesuai dengan standar lingkungan yang ideal.
Walhi menegaskan bahwa KPBU ini perlu direview oleh Pemda Lombok Utara, dengan meminta pertanggungjawaban PT TCN atas kerusakan yang terjadi.
“Ada celah bagi Pemda untuk memutus kontrak, tetapi tidak ada tindakan. Ini yang membuat warga terdampak semakin tidak sabar,” tambah Amri.
Fery Widodo dari Eksekutif Nasional Walhi menyebutkan bahwa pembentukan KPBU tersebut cacat hukum karena tidak mematuhi Undang-Undang No. 32 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta beberapa Peraturan Pemerintah (PP) lama yang sudah diganti, seperti PP Nomor 121 yang kini telah disempurnakan oleh PP Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
“Pemerintah daerah memiliki biro hukum yang seharusnya memastikan bahwa peraturan tersebut sesuai. Jika tidak segera dikaji, akibatnya bisa sangat fatal,” tegas Fery.
Dalam waktu dekat, Walhi dan perwakilan warga berharap agar pertemuan berikutnya pada Kamis (14/11) bersama DPRD dan Pemda KLU dapat menjadi forum untuk membahas semua kejanggalan dalam perjanjian KPBU ini secara tuntas.
“Kami berharap Pemda berani bertindak dan menyelesaikan krisis ini secepatnya. Jika hanya menunggu penyelesaian KPBU, warga Gili bisa saja menghadapi kekeringan yang semakin parah,” pungkasnya. (Red)
0 Komentar