Foto// I Made Kariyasa Anggota DPRD Lombok Utara praksi PDI Perjuangan |
LOMBOK UTARA Penantb.com -Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Lombok Utara (KLU) tinggal beberapa bulan lagi. Suhu politik di daerah ini kian memanas, dengan berbagai manuver politik yang terjadi di lapangan.
Menyikapi kondisi tersebut, Made Kariyasa, seorang anggota DPRD Lombok Utara, mengimbau agar Pemilukada mendatang dapat berjalan dengan damai dan tanpa konflik. Imbauan ini disampaikan pada Kamis, 12 September 2024.
Kariyasa menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas selama masa pemilihan. Menurutnya, perbedaan pilihan politik adalah hal yang wajar dalam demokrasi.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun pihak yang harus merasa terpaksa atau dipaksa dalam menentukan pilihannya.
“Pemilu adalah hak demokrasi setiap individu, dan harus dijalankan dengan bebas tanpa tekanan,” tegasnya.
Ia mencermati fenomena yang sering terjadi usai Pemilukada, di mana terjadi perombakan besar-besaran dalam birokrasi, terutama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Banyak pejabat eselon II yang diturunkan dari jabatannya, sementara sejumlah lainnya dipromosikan.
Kariyasa menganggap bahwa praktik ini kerap kali terkait erat dengan balas jasa politik, yang menurutnya kurang sehat bagi pemerintahan daerah.
“Kita tidak ingin setiap lima tahun sekali, setelah Pilkada selesai, banyak pejabat yang turun atau naik, bahkan ada yang nonjob, serta banyak tenaga kontrak yang harus gantung sepatu. ASN, tenaga kontrak, guru, dan PTT harus merasa aman dan nyaman bekerja, bukan menjadi korban politik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kariyasa juga menyoroti adanya tekanan politik yang dialami ASN dan tenaga kontrak menjelang pemilihan. Berdasarkan informasi yang ia terima, beberapa ASN dan tenaga kontrak mulai dipaksa untuk mendukung pasangan calon tertentu.
Ia menilai hal ini sebagai tindakan yang tidak benar, mengingat ASN seharusnya netral dan hanya bertugas melayani masyarakat, bukan menjadi alat politik.
“ASN adalah pelayan masyarakat. Mereka tidak boleh dijadikan alat politik oleh penguasa. Jika ada ASN yang ditekan untuk mendukung salah satu calon, itu adalah tindakan yang tidak baik. ASN harus diberi ruang seluas-luasnya untuk bekerja tanpa intervensi politik,” tuturnya.
Senada dengan ASN, Kariyasa juga menyoroti perlakuan serupa yang dialami tenaga kontrak. Ia mengungkapkan bahwa tenaga kontrak, yang seharusnya bekerja berdasarkan aturan yang jelas, juga mulai merasakan tekanan politik.
"Saya mendengar tenaga kontrak mulai ditekan. Seharusnya mereka diarahkan untuk bekerja sesuai dengan aturan, bukan menjadi alat politik," imbuh politisi dari PDIP itu.
Kariyasa juga mengingatkan bahwa daerah yang stabil seharusnya tidak melakukan mutasi pejabat secara berlebihan, terutama menjelang atau setelah momen politik.
Ia menginginkan agar ASN, tenaga kontrak, guru, dan PTT merasa nyaman dalam bekerja tanpa kekhawatiran akan posisi mereka. Berkaca dari pengalaman lima hingga sepuluh tahun lalu, banyak pejabat dan tenaga kontrak yang diberhentikan hanya karena terlibat dalam dukungan politik terhadap calon tertentu.
“Pada pemilu sebelumnya, ada kepala dinas yang dinonjobkan, pejabat lain yang mengalami nasib serupa, dan bahkan tenaga kontrak yang telah bekerja selama 15 tahun tiba-tiba dipecat hanya karena mendukung salah satu calon. Padahal, mereka hanya ingin berpartisipasi dalam proses demokrasi,” jelas Kariyase.
Ia menambahkan bahwa banyak tenaga kontrak yang kemudian mengadu saat informasi tentang rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) beredar, meminta agar mereka dapat dipekerjakan kembali.
Kariyasa menilai hal ini sangat memprihatinkan dan berharap ke depan tidak ada lagi korban politik di kalangan ASN maupun tenaga kontrak.
“Oleh karena itu, saya meminta kepada semua pihak untuk tidak terlibat dalam politik praktis. ASN dan tenaga kontrak harus dilindungi dari dinamika politik yang tidak sehat ini,” imbaunya.
Politik balas dendam antara calon kepala daerah, menurut Kariyasa, harus segera dihentikan. Pola politik semacam ini hanya akan menciptakan korban baru di kalangan ASN dan tenaga kontrak, yang akhirnya menjadi tersandera oleh kepentingan politik. Jika pola tersebut terus dilanjutkan, pemerintah daerah akan kehilangan fokus dalam menjalankan tugas utamanya, yaitu membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kita harus mengakhiri politik balas dendam ini. Jika kita terus sibuk menjatuhkan satu sama lain, kapan kita akan fokus membangun Lombok Utara? Orang-orang potensial yang seharusnya dapat membantu pemerintah malah tidak dimanfaatkan karena faktor politik balas dendam,” ucapnya.
Kariyasa juga menyerukan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memperketat pengawasan selama masa Pemilukada. Menurutnya, jika ada laporan tentang dugaan pelanggaran, seperti ASN yang dipaksa mendukung calon tertentu, Bawaslu harus segera bertindak. Pihak yang terlibat harus dipanggil dan diklarifikasi untuk memastikan kebenaran laporan tersebut.
“Jika ada indikasi pelanggaran, Bawaslu harus segera bertindak, memanggil pihak terkait, dan memberikan peringatan. Fungsi pengawasan Bawaslu sangat penting untuk menjaga netralitas ASN selama pemilu,” pungkasnya. (Red)
0 Komentar